Proses Pembuatan Perahu Pinisi
Tanah beru, tanah leluhur para arsitek perahu Pinisi. Di tanah inilah Panrita Lopi melahirkan karya besar mereka. Menciptakan perahu yang hingga saat ini masih melayari pesisir pantai nusantara. Dimuali dari awal sejarah Bugis klasik hingga zaman cybernetic perahu Pinisi tetap anggun meniti arus, membelah ombak menggapai pantai tujuan. Masih segar dalam ingatan ketika pinisi Amanagappa dengan gagah berlayar ke semenanjung Madagaskar. Juga Hati Herage dan Damarsagara yang berlayar ke Australia dan Jepang. Seolah ingin memperlihatkan pada dunia bahwa inilah anak bangsa yang telah menoreh kisah dalam lontara zaman berzaman. Sejenak, ingin rasanya berada di Bonto Bahari dan menyaksikan kepiawaian pencipta perahu-perahu handal yang dengan mahir melahirkan karya besar mereka. Sungguh, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa setiap jengkal badan perahu sarat dengan nilai falsafah.
Perahu pinisi dari zaman dahulu hingga saat ini telah menorehkan kisah panjang. Pinisi telah menjelma menjadi armada perang, kapal angkut barang dagangan hingga kapal pesiar yang dilengkapi peralatan mewah sekelas hotel berbintang. Seperti apakah sesungguhnya perahu ini dilahirkan, berikut sekelumit gambaran tentang proses pebuatan perahu pinisi yang terkenal handal dalam arung samudra.
A. Proses pencarian bahan dasar
Proses pencarian kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan
kapal pinisi diawali dengan penentuan hari baik yang dipandang
menguntungkan. Lazimnya, hari ini dipilih pada hari ke lima dan ketujuh
bulan berjalan. Penentuan hari ini didasari oleh nilai filosofi yakni
jika hari kelima maka itu berarti Naparilimai dale’na. Lima dalam bahasa
bugis berarti angka lima yang juga berarti telapak tangan. Naparilimai
dale’na dapat dimaknakan dale’ atau rezeki diharapkan nantinya akan
berada ditelapak tangan. Atau dengan makna lain rezeki mudah dicari jika
kelak perahu yang akan dibuat dimanfaatkan untuk mencari rezeki atau
keuntungan. JIka dipilih hari ketujuh, maka itu berarti Natujuangenggi
dalle’na. Natujuang dalam bahasa Bugis berarti diniatkan atau dapat pula
berarti didapatkan. Natujuangenggi dalle’na memberi makna kemudahan
dalam memperoleh dalle’ (rezeki) atau apa saja yang menjadi niat dihati
maka apa yang diniatkan itu mudah didapatkan.
B. Pemilihan pohon atau kayu yang akan dijadikan bahan dasar
Pemilihan kayu juga tidak dapat dilakukan secara
serampangan, tapi dengan melalui proses pemilihan dengan penyelenggaraan
ritual tertentu. Biasanya diawali dengan pemotongan ayam dan permintaan
izin agar penghuni pohon atau makhluk halus yang diyakini mendiami
pohon tersebut memberikan izin agar kayu tersebut dapat dimanfaatkan
untuk pembuatan perahu. Proses pemotongan ini juga harus dilaksanakan
sekaligus, tidak boleh berhenti dikerjakan sebelum pohonnya tumbang.
Karenanya, proses pemotongan yang lazimnya menggunakan gergaji dilakukan
oleh laki-laki yang berbadan kuat.
C. Pemotongan Lunas
Pemotongan kayu untuk dijadikan lunas juga memiliki aturan
tersendiri. Kayu bagian ujung yang dipotong dan tidak dapat
dimanfaatkanakan dibuang kelaut. Proses pengantaran bagian ujung ini
juga tidak boleh menyentuh tanah hingga kemudian dibuang kelaut. Upacara
pengantaran ini lazim disebut ritual annattara. Bagian yang dibuang ini
melambangkan laki-laki yang melaut untuk mencari nafkah atau juga dapat
diartikan sebagai penolak bala. Selanjutnya potongan bagian belakang
akan disimpan dirumah, sebagai symbol seorang istri yang menanti
kedatangan suami yang sedang mencari nafkah dengan melaut.
D. Penentuan pusat perahu
Penentuan bagian yang menjadi pusat perahu atau ini lebih
menitik beratkan pada nilai filosofis yang terkandung didalamnya, yakni
melambangkan kelahiran bayi perahu. Selanjutnya proses pengerjaan perahu
dilaksanakan dengan dikomandani oleh seorang Ponggawa. Ponggawa ini
pulalah yang bertanggungjawab terhadap proses pembuatan perahu secara
teknis hingga selesai.
E. Proses penyelesaian (finshing)
Proses selanjutnya adalah menyiapkan teras dan buritan
perahu yang menjadi badan perahu. Proses ini diawali dengan pemasangan
lunas perahu yang kemudian dusul dengan pemasangan linggi depan dan
linggi belakang. Barulah kemudian jika selesai disusul pemasangan papan
yang menjadi diding lambung perahu. Secara berurut juga dipasang tulang
dan gading perahu. Setelah proses pemasangan gading ini selesai perahu
dipasangi balok-balok dinding dan dek. Jika semuanya rampung menyusul
kamar perahu yang akan dikerjakan. Namun, perlu dijadikan catatan dalam
proses pembuatan dan pemasangan beberapa bagian perahu, juga dikerjakan
perekatan antara bagian yang menjadi komponen perahu. Perekatan ini
dilakukan dengan memanfaatkan kulit pohon Barru dan dempul yang terbuat
dari kapur dan minyak kelapa.
Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses pembuatan perahu hingga selesai.
Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.
“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.
Dari proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki fungsi dalam menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :
1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada pada bagian depan kapal.
2. Sombala (layar utama) berukuran besar
3. Tanpasere (layar kecil) berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara (layar bantu depan).
5. Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6. Tarengke (layar bantu di belakang)
Kilas Sejarah Perahu Pinisi :
Berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.
Seperti diketahui bahwa proses pembuatan kapal dikomandani oleh seorang punggawa atau orang yang mengerti tentang pembuatan perahu secara tekhnis. Punggawa ini kemudian memiliki tanggung jawab terhadap pembagian kerja yang dilaksanakan oleh para pembatu atau pekerja yang disebut Sawi. Disamping itu seorang punggawa juga ditutut mampu memberikan pengarahan dan pengetahuan kepada para sawi sebagai pelaksana teknis. Sawi sendiri secara khusus sulit diketahui kemampuannya selain keterlibatannya sebagai pekerja dalam proses pembuatan perahu hingga selesai.
Setelah sebuah perahu pinisi selesai dikerjakan barulah prosesi penurunan kapal kelaut diselenggarakan. Upacara adat juga digelar dalam rangka penurunan kapal tersebut.
“Bismillahir Rahmanir Rahim BuIu-bulunnako buttaya, patimbonako bosiya, kayunnako mukmamulhakim, laku sareang Nabi Haidir” Demikian kalimat yang berisi doa dan harapan terhadap awal pelayaran mengawali perahu pinisi diluncurkan. Proses penurunan perahu ke laut disamping diiringi doa juga diselenggarakan helatan berupa penyembelihan hewan (sapi) sebagai rasa syukur atas terlaksananya pembuatan perahu tersebut.
Dari proses pembuatan ini tergambar beberapa bagian perahu pinisi yang memiliki fungsi dalam menggerakkan kapal. Bagian-bagian tersebut antara lain :
1. Anjong, (segi tiga penyeimbang) berada pada bagian depan kapal.
2. Sombala (layar utama) berukuran besar
3. Tanpasere (layar kecil) berbentuk segitiga ada di setiap tiang utama.
4. Cocoro pantara (layar bantu depan).
5. Cocoro tangnga (layar bantu tengah.
6. Tarengke (layar bantu di belakang)
Kilas Sejarah Perahu Pinisi :
Berawal dari mitologi dan kepercayaan masyarakat terhadap sosok Sawerigading yang berlayar dari tanah luwu untuk mempersunting seorang putri bernama We Codai. Keberangkatan Sawerigading ini berlayar menggunakan sebuah kapal yang terbuat dari sebuah pohon bernama Welenreng. Pohon ini ditempah untuk dijadikan perahu yang akan digunakan oleh Sawerigading dalan pelayarannya. Namun, perahu ini diterpa badai dan akhirnya pecah. Bagian perahu yang telah hancur ini kemudian terdapar di tiga tempat, bagian haluan dan buritan terdampar di Lemo-lemo. Bagian lambung kapal terdampar di sebuah desa bernama Ara dan layarnya terdampar di Bira. Oleh masyarakat ketiga daerah ini mengumpulkan puing puing perahu Sawerigading dan mereka ulang bentuknya.
Dari sinilah awal munculnya
mitologi bahwa ketiga daerah tersebut memiliki keahlian spesifik
berdasarkan temuan puing-puing kapal tersebut. Orang Bira yang diyakini
mendapatkan layar kelak memiliki keterampilan berlayar dan navigasi.
Orang Ara memiliki kemampuan spesifik dalam pembuatan lambung kapal dan
sebaliknya orang Lemo-lemo lebih mahir membuat haluan dan buritan
perahu. Ketiga daerah ini berada di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan,yang kemudian tersohor sebagai pembuat
perahu pinisi.
Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.
Pada awal abad ke-18 para pelaut Bira menakhodai pinisi padewakang hingga ke pantai utara Australia demi memburu teripang kualitas terbaik. Padewakang yang mampu membawa muatan hingga 140 ton berkeliling menghimpun barang dari berbagai pelosok Nusantara; rotan, lilin, agar-agar, sirip hiu, kulit, daging kering, kulit penyu, sarang burung, dan tikar rotan; dan menjualnya kepada saudagar kapal jung dari China. Guncangan politik lokal tahun 1950-an, kelangkaan kayu, dan perkembangan teknologi kapal motor membuat kejayaan Semenanjung Bira memudar. Namun, punggawa Semenanjung Bira menolak menyerah.
Thomas Gibson dalam bukunya, Kekuasaan Raja, Syaikh, dan Ambtenaar-Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300–2000 (Penerbit Ininnawa, 2009), mengurai diaspora tukang kapal Desa Ara dan Lemo-lemo yang meninggalkan Semenanjung Bira demi melanjutkan jalan hidup mereka sebagai punggawa pinisi.
Menurut Gibson, punggawa Desa Lemo-lemo sejak awal abad ke-19 mulai meninggalkan Semenanjung Bira, punggawa pinisi di mana-mana. ”(Sementara) para pembuat perahu Desa Ara (hingga awal 1950-an tetap) bergantung kepada saudagar kaya di Bira … (Namun) pemberontakan Darul Islam (membuat) pangkalan perahu di Bira dan Bone ditutup … Para punggawa (Desa Ara) mulai (pergi dan) membuka kontak dengan saudagar Tionghoa di seluruh Indonesia. Mereka kembali ke Ara, merekrut awak pembuat kapal (yang lantas dibawa ke) tempat para pemesan. Di Pulau Laut, Kalimantan Selatan, dibangun perahu yang bobotnya hingga 600 ton,” tulis Gibson.
Gibson mencatat, pada 1988 koloni orang Ara tersebar di Indonesia. Mulai dari Jampea, Selayar, Sulawesi Selatan; Merauke dan Sorong di Papua; Kupang di Nusa Tenggara Timur; Ambon dan Ternate di Kepulauan Maluku; Tarakan, Balikpapan, Batu Licin, Kota Baru, Banjarmasin, Sampit, Kuala Pembuangan, Kumai, dan Pontianak di Kalimantan; Jakarta; Surabaya; hingga Belitung, Palembang, dan Jambi di Sumatera.
sumber : www.kaskus.co.id/showthread.php?t=15949310
0 comments:
Posting Komentar